Aku menumpuk semua bangkai
kenangan dari potongan ingatan yang timbul tenggelam. Disaat kulihat senja
semakin membias biru langit dengan warna jingga,
waktuku hampir tiba sesaat lagi. Ada potongan kecil tentang seorang bayi dengan
wajah ceria tengah tertawa. Duduk di kursi plastik sambil memegang sebuah bola.
Hanya itu. Aku tak menemukan lagi potongan yang lain. Sudah lama potongan itu hilang hampir keseluruhan.
Dan ada pula potongan
tentang sebuah rumah kecil tanpa kamar,
tanpa pagar, dengan halaman yang gersang dimana tidak ada satupun tanaman
tumbuh di sana. Rumah yang sederhana, terbuat
dari bahan yang bukan dari bata merah ataupun batako,melainkan asbes berlapis
dengan dua pintu, dua jendela dan satu kamar mandi yang juga tanpa ada atap
yang menutupinya. Terletak terpisah dari rumah itu.
Rumah yang juga tanpa warna cat
pada tembok asbesnya, tanpa ada sekat yang membagi bagian-bagian menjadi kamar,
tanpa teras, tanpa ruang tamu, tanpa dapur. Saat seseorang masuk dari satu
pintu, dia akan langsung bisa menemukan pintu yang lain untuk keluar. Entahlah sebuah potongan yang aneh yang menggambarkan
tentang sebuah rumah tak berpagar dengan tanahnya
yang cukup luas.
Aku meletakannya pada tumpukan paling bawah dari bangkai
kenangan yang berserakan itu setelah hampir sebulan lebih aku berada di rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Koma. Berada
diantara batas hidup dan kematian. Serasa asing dunia yang tengah menampung kehadiran
diriku yang sementara itu. Tak ada apapun, tidak ada
cahaya, sebagaimana yang dikatakan dalam kematian yang suri.
Dan tiba-tiba saja aku merasakan seperti ada kekuatan besar yang menarik diriku untuk kembali pada kehidupan ini. Setelah
hampir setiap saat aku mendengar isak tangis yang memilukan, dan sepertinya aku mengenal suara itu, tapi aku lupa. Perlahan-lahan akupun
mulai mengenali suara-suara
itu, suara isak tangis istri dan anak-anakku. Dalam kesadaran yang
tiba-tiba itu, aku merasakan rindu yang meluap-luap tak terbendung. Aku mencoba
menjawabnya dengan berteriak keras memanggil-manggil nama mereka sekuat tenaga.
Dan tiba-tiba, aku mendapati diriku tengah terbaring lemah di sebuah ruang
perawatan rumah sakit.
Anak-istriku segera memeluk tubuhku erat
dalam tangis kebahagiaan. Ya, aku
kembali setelah sekian lama menghilang. Aku balas pelukan mereka dengan segala
keharuan penuh rindu, menciumi wajah-wajah itu tanpa berhenti. Lalu kami semua
tertidur dalam satu ruangan. Aku tertidur diatas ranjang sambil memeluk si
bungsu, sedangkan kakak-kakaknya dan istriku duduk di kursi sambil menyandarkan
kepala ke ranjang.
Sejak saat itu, banyak sekali yang hilang
dari ingatan di kepalaku. Hingga akhirnya aku mencari-cari setiap kenangan yang
masih tersisa, mengumpulkannya satu persatu sampai akhirnya aku mengenali
cerita dan peristiwa yang terjadi pada setiap potongan yang ku temukan.
Aku juga menemukan potongan kenangan yang
menggambarkan kegembiraan bocah-bocah kecil yang tengah bermain di sebuah tanah
lapang yang terhampar hijau. Suasana Taman Rekreasi yang berada disebuah
pegunungan yang sejuk. Terlihat jelas bentuk tanah yang tidak rata dan
bergelombang naik turun seperti membentuk bukit-bukit kecil. Mereka terlihat
begitu gembira dengan gelak tawa yang lepas. Tengah asik dalam sebuah permainan
bola tiup yang biasa dijual para pedagang di Taman Rekreasi itu. Keringat
mereka bercucuran membasahi wajah dan pakain baru yang mereka kenakan. Seorang
lelaki dewasa terlihat terlibat dalam permainan itu, tidak kalah gembiranya
dengan bocah-bocah itu.
Dulu aku tidak pernah tahu betapa semua
potongan-potongan kenangan itu begitu berarti bagi diriku suatu saat nanti,
seperti saat ini. Padahal banyak dari peristiwa hidupku yang sengaja aku buang
dari ingatan, yang jelas-jelas aku akan melupa dengan sendirinya. Entah karena
kecewa, marah atau sebab tersakiti. Aku tidak ingat lagi. Aku hanya mendapati
potongan-potongan kecil yang sulit aku mengerti bentuknya.
Seolah terlahir kembali dalam kehidupan,
aku begitu ingin semua itu kembali dalam ingatan di kepalaku. Karena hidup
tanpa kenangan membuat aku sering tersesat dan seolah kehilangan jati diri.
Bahkan aku tidak terlalu perduli akan semua hal yang dulu mungkin ku anggap
begitu memalukan dan tidak patut untuk dikenang. Tapi sekarang ini, aku percaya bahwa aku bisa
menertawakan semua hal-hal bodoh dan memalukan itu. Menggambarkannya kembali
dalam sebuah cerita untuk anak-istriku, hingga kami tertawa terbahak-bahak karenanya.
Dan itu tentang aku.
Sekarang. Aku begitu menghargai setiap
detik peristiwa yang aku alami, sebagaimana diriku saat berada dalam keadaan
koma. Aku tidak ingin potongan-potongan itu hilang sama sekali dalam ingatanku.
Aku ingin mengingat kesetiaan dan kasih sayang yang ditunjukan oleh
anak-istriku pada saat itu. Kesabaran, rindu-rindu, rasa cemas dan rasa takut
yang mereka rasakan. Dan juga isak tangis mereka yang dulu sempat aku dengar
ketika berada di antara hidup dan mati. Aku ingin mengingat semua itu. agar aku
bisa menghargai arti kehidupan yang aku jalani sekarang.
Bahkan semua harapan dan keinginan mereka
selalu ku ingat seperti yang terucap dari bibir anak-istriku.
“Pah, Jangan kebanyakan merokok, ngopi dan
begadang lagi ya, Pah. Jaga kesehatan Papa baik-baik. Kami semua belum sanggup
berpisah dengan Papa,” ucap istriku. Dan aku menganggukan kepala mengiyakan,
sebagai janji yang akan aku penuhi.
“Papa gak boleh makan-makanan yang
aneh-aneh lagi, yang buat penyakit Papa kambuh lagi. Kami benar-benar masih
butuh bimbingan dan kehadiran Papa dalam kehidupan kami. Kami belum siap untuk
kehilangan Papa lagi!” ucap anak-anakku.
Dan untuk semua keinginan dan harapan
mereka. Aku mencoba memenuhi janjiku. Mengingat semua kejadian tempo hari itu.
Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Maka dengan selalu mengingat semua
peristiwa saat itu, aku berharap bisa menghargai kesempatan yang diberikan
Tuhan kepadaku. Dengan tidak melupakan saat sekarang aku telah kembali dalam
keadaan sehat. Hal yang biasa terjadi pada kebanyakan manusia yang selalu lupa.
post:awankening