ardiansyahardian.blogspot.com
fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia| fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|fikahanifahmeutia|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|lubis family|

Potongan Kenangan

 
 
Aku menumpuk semua bangkai kenangan dari potongan ingatan yang timbul tenggelam. Disaat kulihat senja semakin membias biru langit dengan warna jingga, waktuku hampir tiba sesaat lagi. Ada potongan kecil tentang seorang bayi dengan wajah ceria tengah tertawa. Duduk di kursi plastik sambil memegang sebuah bola. Hanya itu. Aku tak menemukan lagi potongan yang lain. Sudah lama potongan itu hilang hampir keseluruhan.
Dan ada pula potongan tentang  sebuah rumah kecil tanpa kamar, tanpa pagar, dengan halaman yang gersang dimana tidak ada satupun tanaman tumbuh di sana. Rumah yang sederhana, terbuat dari bahan yang bukan dari bata merah ataupun batako,melainkan asbes berlapis dengan dua pintu, dua jendela dan satu kamar mandi yang juga tanpa ada atap yang menutupinya. Terletak terpisah dari rumah itu.
Rumah yang juga tanpa warna cat pada tembok asbesnya, tanpa ada sekat yang membagi bagian-bagian menjadi kamar, tanpa teras, tanpa ruang tamu, tanpa dapur. Saat seseorang masuk dari satu pintu, dia akan langsung bisa menemukan pintu yang lain untuk keluar. Entahlah sebuah potongan yang aneh yang menggambarkan tentang sebuah rumah tak berpagar dengan tanahnya yang cukup luas.
Aku meletakannya  pada tumpukan paling bawah dari bangkai kenangan yang berserakan itu setelah hampir sebulan lebih aku berada di rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri. Koma. Berada diantara batas hidup dan kematian. Serasa asing dunia yang tengah menampung kehadiran diriku yang sementara itu. Tak ada apapun, tidak ada cahaya, sebagaimana yang dikatakan dalam kematian yang suri.
Dan tiba-tiba saja aku merasakan seperti ada kekuatan besar yang menarik diriku  untuk kembali pada kehidupan ini. Setelah hampir setiap saat aku mendengar isak tangis yang memilukan, dan sepertinya aku mengenal suara itu, tapi aku lupa. Perlahan-lahan akupun mulai mengenali suara-suara itu, suara  isak tangis  istri dan anak-anakku. Dalam kesadaran yang tiba-tiba itu, aku merasakan rindu yang meluap-luap tak terbendung. Aku mencoba menjawabnya dengan berteriak keras memanggil-manggil nama mereka sekuat tenaga. Dan tiba-tiba, aku mendapati diriku tengah terbaring lemah di sebuah ruang perawatan rumah sakit.
Anak-istriku segera memeluk tubuhku erat dalam tangis  kebahagiaan. Ya, aku kembali setelah sekian lama menghilang. Aku balas pelukan mereka dengan segala keharuan penuh rindu, menciumi wajah-wajah itu tanpa berhenti. Lalu kami semua tertidur dalam satu ruangan. Aku tertidur diatas ranjang sambil memeluk si bungsu, sedangkan kakak-kakaknya dan istriku duduk di kursi sambil menyandarkan kepala ke ranjang.
Sejak saat itu, banyak sekali yang hilang dari ingatan di kepalaku. Hingga akhirnya aku mencari-cari setiap kenangan yang masih tersisa, mengumpulkannya satu persatu sampai akhirnya aku mengenali cerita dan peristiwa yang terjadi pada setiap potongan yang ku temukan.
Aku juga menemukan potongan kenangan yang menggambarkan kegembiraan bocah-bocah kecil yang tengah bermain di sebuah tanah lapang yang terhampar hijau. Suasana Taman Rekreasi yang berada disebuah pegunungan yang sejuk. Terlihat jelas bentuk tanah yang tidak rata dan bergelombang naik turun seperti membentuk bukit-bukit kecil. Mereka terlihat begitu gembira dengan gelak tawa yang lepas. Tengah asik dalam sebuah permainan bola tiup yang biasa dijual para pedagang di Taman Rekreasi itu. Keringat mereka bercucuran membasahi wajah dan pakain baru yang mereka kenakan. Seorang lelaki dewasa terlihat terlibat dalam permainan itu, tidak kalah gembiranya dengan bocah-bocah itu.
Dulu aku tidak pernah tahu betapa semua potongan-potongan kenangan itu begitu berarti bagi diriku suatu saat nanti, seperti saat ini. Padahal banyak dari peristiwa hidupku yang sengaja aku buang dari ingatan, yang jelas-jelas aku akan melupa dengan sendirinya. Entah karena kecewa, marah atau sebab tersakiti. Aku tidak ingat lagi. Aku hanya mendapati potongan-potongan kecil yang sulit aku mengerti bentuknya.
Seolah terlahir kembali dalam kehidupan, aku begitu ingin semua itu kembali dalam ingatan di kepalaku. Karena hidup tanpa kenangan membuat aku sering tersesat dan seolah kehilangan jati diri. Bahkan aku tidak terlalu perduli akan semua hal yang dulu mungkin ku anggap begitu memalukan dan tidak patut untuk dikenang.  Tapi sekarang ini, aku percaya bahwa aku bisa menertawakan semua hal-hal bodoh dan memalukan itu. Menggambarkannya kembali dalam sebuah cerita untuk anak-istriku, hingga kami tertawa terbahak-bahak karenanya. Dan itu tentang aku.
Sekarang. Aku begitu menghargai setiap detik peristiwa yang aku alami, sebagaimana diriku saat berada dalam keadaan koma. Aku tidak ingin potongan-potongan itu hilang sama sekali dalam ingatanku. Aku ingin mengingat kesetiaan dan kasih sayang yang ditunjukan oleh anak-istriku pada saat itu. Kesabaran, rindu-rindu, rasa cemas dan rasa takut yang mereka rasakan. Dan juga isak tangis mereka yang dulu sempat aku dengar ketika berada di antara hidup dan mati. Aku ingin mengingat semua itu. agar aku bisa menghargai arti kehidupan yang aku jalani sekarang.
Bahkan semua harapan dan keinginan mereka selalu ku ingat seperti yang terucap dari bibir anak-istriku.
“Pah, Jangan kebanyakan merokok, ngopi dan begadang lagi ya, Pah. Jaga kesehatan Papa baik-baik. Kami semua belum sanggup berpisah dengan Papa,” ucap istriku. Dan aku menganggukan kepala mengiyakan, sebagai janji yang akan aku penuhi.
“Papa gak boleh makan-makanan yang aneh-aneh lagi, yang buat penyakit Papa kambuh lagi. Kami benar-benar masih butuh bimbingan dan kehadiran Papa dalam kehidupan kami. Kami belum siap untuk kehilangan Papa lagi!” ucap anak-anakku.
Dan untuk semua keinginan dan harapan mereka. Aku mencoba memenuhi janjiku. Mengingat semua kejadian tempo hari itu. Aku tidak ingin berpisah dengan mereka. Maka dengan selalu mengingat semua peristiwa saat itu, aku berharap bisa menghargai kesempatan yang diberikan Tuhan kepadaku. Dengan tidak melupakan saat sekarang aku telah kembali dalam keadaan sehat. Hal yang biasa terjadi pada kebanyakan manusia yang selalu lupa.
 
 
post:awankening