Pagi.
Selepas shalat subuh. Aku pergi keluar rumah seperti biasa. Menikmati
udara pagi yang masih segar jauh dari polusi. Tercium aroma tanah yang
basah, daun-daun yang bermandikan embun. Sesekali masih terdengar dari
mesjid-mesjid alunan suara orang yang tengah mengaji dan juga suara
penceramah mengisi acara siraman rohani pagi dalam kuliah subuh. Pagi
yang masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Setelah sejenak berdiri
memandang gelap yang masih tersisa sebelum matahari mengusirnya, aku
ikat rambut yang panjang tergerai dengan satu karet gelang. Baru
kemudian memulai aktifitas menyapu halaman rumah.
Aku
hanya seorang perempuan tua, yang hidup dengan rutinitas seadanya.
Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada
yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku. Wajahku yang
semenjak remaja, hanyalah wajah cerminan perempuan dusun berkulit hitam
yang jauh dari kata cantik, serta bodoh. Karena aku tak pernah tamat sekolah dasar. Aku juga tak tahu tentang bagaimana cara menghias diri. Namun demikian, aku masih beruntung karena Kang Diman, seorang pemuda dari desa seberang, terpikat dengan diriku apa adanya, dan kemudian menikahiku.
Kang
Diman bukanlah sosok lelaki yang tampan dan kaya. Wajahnya biasa saja,
dan pekerjaannya hanya sebagai seorang supir becak. Namun demikian, aku melihat sifat-sifat baik yang dimiliki suamiku itu. Sabar, pengertian dan juga giat dalam bekerja, serta jarang sekali mengeluh. Meski kesialan kerap dialami setiap saat.
Setelah
selesai menyapu halaman. Aku masuk kembali ke dalam rumah menuju dapur.
untuk menanak air, menyiapkan makanan pagi bagi suami dan juga
anak-anak. Di sela-sela menunggu, aku mencuci semua piring, gelas dan
semua perabotan kotor yang belum sempat aku cuci tadi malam. Pagi-pagi,
kopi serta sarapan sudah harus tersedia untuk suami dan anak-anakku
sebelum mereka beraktifitas dan meninggalkan aku sendirian di rumah.
“Anak-anak sudah pada bangun, Bu?” tiba-tiba suara Kang Diman terdengar olehku, sedikit mengejutkanku.
“Belum, Pak..” jawabku sambil tanganku mengaduk-aduk kopi dalam gelas.
“Hmm..
nanti kalau aku selesai shalat subuh mereka belum bangun. Tolong
bangunkan mereka. Suruh pada shalat subuh juga. Kayak orang kaya saja,
bangun siang-siang” ucap Kang Diman lagi sambil ngeloyor masuk kamar
mandi mengambil air wudhu.
“Iya, Kang..”
Setelah
semua telah siap, aku membawa kopi, teh manis dan lauk untuk sarapan ke
atas meja. Dan kembali meraih gagang sapu untuk melanjutkan
membersihkan seisi rumah. Gelap perlahan mulai tersingkirkan oleh pagi
yang akan hadir bersama matahari. Satu persatu terdengar langkah dan
cakap orang-orang yang juga mulai sibuk dengan aktifitas mereka.
Wajah-wajah yang masih berharap untuk bisa memeluk bantal guling
kembali.
Kang Diman selesai menunaikan shalat subuh, lalu menghampiri meja makan. Duduk sambil menyeruput kopi yang aku buatkan tadi.
“Anak-anak tolong di bangunkan, Bu” ucap Kang Diman lagi kemudian.
“Iya, Kang.. “ aku segera menghentikan kegiatanku untuk melaksanakan permintaan Kang Diman.
…..
Matahari
telah sedikit menunjukan wajahnya. Ia terlihat masih malu-malu atau
mungkin masih malas lagi mengantuk. Kang Diman sudah berada di
pekarangan rumah, mengelap kursi penumpang becak kesayangannya. Kadang
handuk yang biasa dikalungkan di lehernya dia kibas-kibaskan kearah
becaknya, seolah mengusir debu-debu nakal yang masih tidak mau pergi
dari menempel di badan becak.
Aku
berdiri memperhatikan dirinya melakukan semua itu. Sudah merupakan
kewajibanku untuk mengantarkan kepergian suami setiap kali pergi bekerja
mengais rejeki untuk keluarga tercinta. Ketika melihat Kang Diman telah
duduk dan siap mengayuh becak kesayangannya. Segera aku menghampirinya.
“Bilangin
ke anak-anak, jangan kelamaan mandi atau sarapannya, Bu. Nanti pada
kesiangan semua lagi,” ucap Kang Diman saat aku mengecup punggung
tangannya.
“Iya, Kang…”
Becakpun
mulai dikayuh dengan berat menuju pintu halaman rumah, masuk ke jalan
gang dan terus melaju hingga menghilang dari pandangan. Aku menghela
nafas panjang memandang kepergian suamiku. Ada sesak yang tiba-tiba aku
rasa di dalam dada. Dan semakin menjadi ketika aku menoleh kedalam rumah
yang kosong. Tidak terasa bibir bergetar seiring rasa yang tiba-tiba
menjalar masuk ke dalam hatiku. Airmata aku tahan untuk tidak jatuh di
pagi yang cerah ini, mengambang di pelupuk mata.
Seketika
kesadaran mengingatkan kepadaku untuk tetap tegar menghadapi hari-hari
yang sama yang akan aku alami selama hidupku. Dengan menggunakan ujung
lengan baju baju, aku coba menghapus airmata yang menggenang di mataku.
Menarik nafas panjang untuk kemudian melangkah kembali masuk kerumah.
Aku adalah perempuan tua dengan rutinitas yang sama setiap hari. Sebagai ibu dari anak-anakku, dan sebagai istri dari suamiku. Tidak ada yang istimewa dari kehidupanku ataupun dari diriku.
Kecuali cerita tentang anak-anak yang telah pergi pada pagi-pagi
seperti ini namun hingga kini tidak pernah kembali. Tanpa ada kabar
berita. Tanpa ku tahu apa yang terjadi pada mereka. Aku hanya mengingat
siang setelah kepergian mereka, terjadi kerusuhan besar. Dimana semua
orang terlihat seperti kerasukan. Api terlihat berkobar dimana-mana.
Wajah-wajah bengis menyeringai sambil berteriak tergambar jelas di layar
televisi. Sejak itulah rumah ini menjadi sepi.
Lalu
cerita tentang suamiku, Kang Diman, lelaki yang begitu aku cintai,
Bapak dari anak-anakku yang telah pergi tak kembali. Kang Diman yang
seolah selalu lupa bahwa anak-anaknya telah pergi sekian lama tanpa ada
kabar berita. Entah keyakinan atau kesadarannya yang mulai hilang. Yang
ku tahu, begitu besar harapan Kang Diman terhadap anak-anak. Karena
kelak, mereka yang di harapkan mampu mengangkat derajat dan taraf hidup
keluarga ini. Harapan yang membuatnya tidak percaya dan menerima
kenyataan bahwa anak-anak kami tidak pernah kembali.
Dan
aku.. aku adalah perempuan tua yang menyimpan asa yang perlahan mulai
terkikis habis melihat kenyataan yang ada atas kehidupan pagi kami.
Bahwa suatu saat juga semua akan pergi meninggalkan diriku di rumah ini
seorang diri. Tetap pada rutinitas yang sama dalam hampa menunggu mereka
yang pergi tanpa kembali.
post:awankening